Sumur yang ditutup, disulap jadi meja. Sebuah buku terbaring terbuka dan pena siap
menari di atasnya. Di bawah bougenville
merah muda, sang pena memulai langkahnya, menari. Dance not to impress, but to express. Bunga terompet kuning menatap curiga, ditiup
sepoi angin malam. Sang pena seakan tak
peduli, ia terus saja asyik menari.
Rangkaian kata pun jadi hasilnya.
Bergoyang ke kiri, meliuk ke kanan, sesekali berputar, meloncat
kecil. Senyum mengiringi tiap
langkahnya. Di bawah terang lampion
kuning, ia menyatu dengan dinginnya malam.
Pena yang menari, menorehkan kata menjadi kalimat, menyusun bait. Kumpulan tulisan, jurnal, renungan, cerita, perwujudan perasaan
Sunday, August 23, 2020
The Exile Diaries - Episode #08: Tarian Sang Pena
Cafe De Koloniale - Kota Proklamator
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
17 Agustus
Empat ratus lima puluh tahun masa kolonisasi Empat setengah tahun dalam siksa dan penuh derita Penuh pergolakan demi kedaulatan negeri Akh...
-
arr. L. Putut Pudyantoro Kala kudengar panggilan Tuhan Ku persembahkan seluruh hidupku Lalu ku arungi samudera luas Berpegang pada k...
-
“Ambillah Tuhan dan terimalah seluruh kemerdekaanku, ingatanku, pikiranku dan segenap kehendakku, segala kepunyaan dan milikku. Engkaulah ...
-
Hari ini aku service ponsel Huawei yg paketan sama Esia. Jam 8-an sampai di gedung Bakrie, Esia Center - Rasuna Said. Eh..ternyata kalo pera...
No comments:
Post a Comment