Friday, January 17, 2020

Di Girisonta hatiku berlabuh

Tak puas-puasnya aku menikmati taman di tengah-tengah rumah retret Girisonta ini. Ditambah kicau burung, semakin indah. Background sound nya memang suara kendaraan lalu lalang, karena memang Girisonta berdiri persis di pinggir jalan raya yang cukup besar dan ramai (kalau di tengah jalan, ketabrak dong *halah*). Memang aku suka berkebun, tanaman dan bunga. Cocok sekali dengan taman ini.

Berjalan sedikit ke tengah taman (ada jalan setapak untuk pejalan kaki), sarang burung dara berdiri kokoh, barisan burung dara berwarna putih bertengger dengan anggun di puncak sarang. Sesekali terlihat ada yang berkelahi, kepala mereka saling beradu, ke kiri dan kanannya; mungkin memperebutkan wilayah tempat bertengger, haha.

Setelah belajar sedikit tentang spiritualitas Ignatian di kelas SBS (Schooled by Spirit), mudah bagiku "Finding God in all things" (Menemukan Tuhan dalam segala) di tempat ini, bagaimana tidak,  hamparan rumput, pepohonan rimbun, tanaman dan bunga. Kutemukan Engkau Tuhan.

Sering sekali kudendangkan madah "Ambillah dan Trimalah" (Arr. Onggo Lukito) yang lirik aslinya ditulis St. Ignatius Loyola dalam LR (Latihan Rohani) 234. Waktu kelas SBS, kubaca doa "Ambillah Ya Tuhan" itu wow, rasanya berat sekali mendoakan itu, sebuah doa penyerahan total pada Tuhan.


Doa Penyerahan (Suscipe)

Ambillah Tuhan dan terimalah
Seluruh kebebasanku, ingatanku,
pikiranku dan segenap kehendakku,
segala kepunyaan dan milikku,
Engkaulah yang memberikan,
padaMu Tuhan kukembalikan.
Semuanya milikMu,
Pergunakanlah sekehendakMu.

Berilah aku cinta dan rahmatMu,
cukup sudah itu bagiku.

Damai di Girisonta

Kubuka saja pintu kamarku
Pepohonan dan hamparan rumput
Kuntum bunga dan burung dara
Segera menyergap mataku
Bagaimana bisa tidak damai rasa hati ini

Matahari mulai menghangat
Kicauan burung membahana
Kiranya mereka bersarang
Di puncak pohon-pohon besar di taman

Angin menghembus keras
Daun saling bertumbuk
Bunyi gemirisik layaknya hujan

Tak mau kalah,
Ketika mentari sembunyi
Jangkrik memimpin orkes serangga
Sahut menyahut mengumandangkan madah
Kutemukan Engkau dalam segala

Thursday, January 16, 2020

Menjadi Tenang

Indonesia dengan puluhan ribu pulau, ratusan suku, ratusan bahasa. Ragam flora fauna unik hanya dapat ditemui di negeri ini. Tidak terhitung banyaknya peneliti yang khusus datang ke negeri Jamrud Khatulistiwa ini. Tempat wisata? Ohh.. jangan ditanya kawan.... bahkan ada pulau/daerah yang dibeli oleh orang asing. Yah, anda tidak salah baca, dibeli, memang secara legal tidak bisa WNA (Warga Negara Asing) membeli lahan di daerah NKRI ini,... tapi, ini Indonesia bung! Mengenaskan memang, beberapa titik lokasi wisata dimiliki warga asing, yang berarti penghasilannya masuk bukan ke kantong-kantong orang Indonesia/pemerintahnya.

Dari sekian banyak lokasi wisata; pemandangan yang membuat mulut ternganga, tempat ziarah rohani, pantai-pantai indah molek, lokasi diving yang cantik nan ciamik, gunung dengan segala kemegahannya atau apapun itu; di Indonesia ini aku sejak bertahun-tahun lampau punya cita-cita untuk datang ke tempat ini. Tempat ini tidak terletak di tepi pantai atau gunung, pemandangan terbilang biasa bahkan lokasinya persis di pinggir jalan raya yang cukup ramai.

Girisonta! Berlokasi di Ungaran, sekitar 24 km dari Semarang. Di kompleks Girisonta terdapat gereja (paroki St. Stanislaus), novisiat Jesuit (tempat pendidikan calon imam untuk tarekat/ordo SJ), rumah retret, rumah jompo (khusus pastor-pastor Jesuit) dan makam.

Sejak akhir Des 2019, ibuku membantu menjadwalkan retret pribadi untuk aku dan dia. Atas usul dan dorongan seorang kawan, akhirnya cita-citaku yang sudah lama kupendam, terwujud pada tanggal 12 Jan 2020! Bahkan sejak 3 km sebelum sampai ke lokasi (thanks Google Maps) aku merasa deg-degan. Belum masuk ke gerbangnya, aku sudah mem-foto tulisan besar di depan "GIRISONTA". 

Bagiku di sinilah tempat lahir dan wafatnya Jesuit. Kenapa begitu ? Umumnya, perjalanan seorang calon imam (seminaris) dimulai dengan pendidikan di Seminari Menengah, menjelang akhir studi, mereka akan memilih ordo/tarekat mana yang sekiranya cocok untuk dia (tentunya sesuai dengan panggilan Tuhan juga sih), kemudian mereka masuk novisiat. Pendidikan awal dari sebuah tarekat, bisa dibilang gitu. Dalam kompleks yang sama, ada rumah pastor-pastor sepuh (purnakarya). Lalu, pemakaman juga ada. Lahir dan wafatnya Jesuit. 

Sejenak aku ingat perkataan Buddha, Lahir - Tua - Sakit - Mati, merupakan konsekuensi dari kehidupan yang pasti akan dialami oleh semua orang.

Aku sampai di kompleks Girisonta + 15.40, jadwal misa di paroki Girisonta adalah 16.30. Pas sekali! Bila Ia berkehendak, waktunya bisa dibuat semua pas. Sengaja aku tidak misa di Jakarta, karena memang sulit bangun pagi, hahaha, dan memang ingin misa di sekitaran Semarang. Saat dalam perjalanan dari Jakarta ke Girisonta, kami menyetir, baru aku cari tau tentang jadwal misa di Kabupaten Semarang melalui apps eKatolik. Ternyata ada tulisan "Paroki St. Stanislaus Girisonta", saat kubandingkan alamatnya, sama dengan Rumah Retret Girisonta. Wow ! Amazing ! Perjalanan seharusnya dapat ditempuh selama 5,5 jam tapi karena kami beberapa kali berhenti di rest area, waktu tempuh total sekitar 6 jam 10 menit (09.30-15.40)

Begitu kuinjakkan kaki di bumi Girisonta, hati ini bersuka ria. Setelah ganti baju yang lebih pantas untuk misa, aku ditinggal, karena ayah dan ibuku sudah misa pagi di Jakarta, mereka pergi makan sate sapi yang terkenal di sini. Kulangkahkan kaki 'tuk melihat semua hal yang bisa kulihat, kujelajahi tampak depan dari Girisonta, karena belum bisa masuk ke rumah retretnya.... Gereja, gedung novisiat (yang tertutup untuk umum), patung Santo Stanislaus, tampak depan rumah retret, tampak depan makam. Dan sepanjang aku berjalan, ku memadahkan "Ambillah dan Trimalah" karya Onggo Lukito. Tak lupa kuabadikan apa yang kulihat dengan kamera smartphoneku. Layaknya anak kecil yang baru dibawa ke kebun binatang, begitulah girangnya hatiku (mari berasumsi semua anak kecil suka ke kebun binatang =D )

Tak dinyana, setelah misa usai, ada sepasang suami istri muda yang nampaknya mengenaliku, si suami menggoyangkan2 telunjukknya ke arahku. Ternyata teman Choice (sebuah weekend/komunitas single katolik). Mereka pindah ke Semarang, setelah nikah, ya iyalah..dulu kan kenalnya di Jakarta.... mereka me-manage usaha keluarga dari si istri, sebuah rumah makan di daerah Bandungan (Bandungan itu seperti Puncak/Cipanas-nya Jakarta). Mereka memiliki anak perempuan yang very adorable!! Malu-malu gitu ketika kutanya siapa namanya. Haha. Lilo, 4 tahun. "Lilo & Stitch," sontak aku bertanya dan wajah bingung. Si ibu menjawab sebenarnya namanya Lourdes, panggilannya Lilo. Unik ! Bersamaan dengan berpisah dengan mereka, mobil orang tuaku datang, tentunya beserta sate sapi, ohh.... i'm starving...

Girisonta, 12 Januari 2020
Pesta Pembabtisan Tuhan


ps: judul "Menjadi Tenang" diambil dari sebuah tulisan untuk refleksi yang diberikan romo pembimbing. Ingin kutulis tulisan yang sangat bagus dan mengena itu disini, tapi teringat kalau nanti siapa tau ada pembaca yang ikut retret pribadi disana, spoiler dongg

17 Agustus

  Empat ratus lima puluh tahun masa kolonisasi Empat setengah tahun dalam siksa dan penuh derita Penuh pergolakan demi kedaulatan negeri Akh...