Monday, August 30, 2010

Nafas alam

Rumput terhampar bagai permadani
Sejauh mata memandang
Pohon berlomba menjadi siapa yang paling tinggi
Di kejauhan air mengalir deras
Suara yang menentramkan hati
Burung menambah harmoni dengan kicau
Rasakanlah aroma alam
Rasakan pula kesejukan alam
Dingin. Sejuk. Segar
Berbagai warna gradasi hijau kau temui
Bercampur warna warni kembang bunga
Rasakan setiap detik alam yang bernafas
Hirup kesegaran alami
Penuhi jiwa dengan ketenangan

Oleh-oleh dari Cibodas, 21 Agustus 2010

Wednesday, August 18, 2010

Hujan

Air terus menetes di luar jendela kamar Emil. Langit berwarna kelabu, tak ada sinar mentari yang menempel ke tanah. Emil tetap menatap keluar jendela kamarnya. Pandangan matanya kosong. Mulutnya sedikit terbuka. Air liur mengalir dari ujung bibirnya. "Emil sayang ayo mandi dulu," seorang perawat perempuan masuk ke kamar Emil. Ia mengenakan seragam perawat rumah sakit berwarna putih.

Emil, seorang bocah lelaki berusia 11 tahun, pengidap cacat mental yang ditinggalkan begitu saja di depan Panti Asuhan Kasih Sejati. Petugas panti menemukan seonggok tubuh lemah nan mungil itu di depan pintu depan panti ketika hendak menyapu teras. Banyak memang cerita demikian di panti. Anak ditinggal begitu saja.

Perawat tadi memegang lengan kanan Emil dan menuntunnya ke kamar mandi. Tiap hari Emil dimandikan 2x, jam 8.30 dan 16.30. Ketika mandi Emil banyak tersenyum. Tampaknya ia suka sekali dengan air, sama besarnya dengan kesukaannya menatap hujan.

"Nah.. sudah mandi kan seger. Ayo sekarang suster lap dulu ya," ujar perawat sambil menyeka badan Emil dengan handuk mandi berwarna coklat terang. Emil menggerakkan kepalanya, seperti ia ingin tetap dalam keadaan basah. "Harus dikeringin.. nanti kalau gak dikeringin, kamu bisa masuk angin. Kan Emil gak mau masuk angin, ya kan ?" Seolah mengerti, kepalanya sudah tak digerakkan lagi. Sesudah dipakaikan kaos biru mudah dan celana pendek hitam, Emil membelai-belai lengan perawat, begitu cara dia mengucapkan terima kasih. "Sama-sama Emil," jawab perawat perlahan. Emil langsung berjalan menuju kamarnya dan kembali duduk di kursi dekat jendela, kembali pada kegiatannya semula, memandang keluar jendela.

Hujan sudah reda. Sontak Emil menjerit, melengking tinggi dan sangat keras. Segera 3 perawat datang ke kamarnya dengan tergopoh-gopoh. Salah satu perawat segera mendekapnya tanpa berkata apa-apa. Dua yang lain berdiri di dekanya sambil tersenyum. Setelah Emil tenang, mereka bertiga keluar.

"Anak itu tiap kali hujan berhenti, pasti menjerit," kata salah satu perawat.
"Mungkin hujan mengingatkan dia pada peristiwa yang menyedihkan," kata perawat lain.
"Ya, mungkin saja," ujar yang lain.

Tuesday, August 17, 2010

Pena dan cappucino

Terduduk di sofa hitam empuk.
Menyeruput cappucino yang masih mengepul.
Mengerutkan dahi, berpikir.
Pena digoyang-goyangkan, cari inspirasi.
Kertas putih yang akan menjadi tulisan.
Puisi atau serangkai kata-kata.
Penggugah rasa, mengena di hati.

Terdengar lagu tahun 80-an yang melekat di hati. Tembang dari grup band legendaris Queen, Somebody to Love. Sesaat terkenang perjumpaan dengan Lea, gadis manis dengan kulit coklat dan rambut panjangnya. Duduk berdekatan waktu pelesir ke Pulau Dewata. Sengaja bayar lebih untuk mendapat kursi sebelah jendela untuk menikmati gelombang awan di pagi hari, tak disangka teman seperjalanan adalah sesosok wanita yang ... menarik. Satu jam yang penuh kenangan.

Buru-buru kukembalikan pikiran pada kertas yang masih polos di hadapan. Gawat, pikirku. Kurang dari 24 jam naskah harus sudah di-email ke redaksi. Kesempatan tiap minggu mengisi kolom puisi di surat kabar lokal tidak boleh dianggap sepele. Walau honor tidak seberapa, tapi bagus untuk portfolio, sekalian menjadi selingan dalam menyelesaikan naskah novel yang sudah setengah tahun kukerjakan.

Kembali kuketuk-ketukkan pena silver pemberian teman SMA-ku waktu aku diterima jadi penulis tetap di sebuah majalah. "Pake pena yang mahalan dikit, biar tulisan lu bermutu tinggi." Aku ingat betul komentarnya saat ia berikan kotak beludru hitam kepadaku.

5 menit. 10 menit. 30 menit. Celaka kenapa jadi buntu begini. Kenapa juga aku tunda-tunda membuat tulisan, bukan dari hari Senin saja. Oh iya, hari Senin si Bryan mengajakku berkuda bersama teman-teman elite-nya. Heran, mereka berbicara bisnis milyaran rupiah seperti membicarakan teriknya matahari di warung kopi saja. Aku cuma bisa tersenyum meringis saja. Besoknya aku panas 2 hari. Mungkin karena menahan kesal terlalu dalam.

Gawat, pikiran melantur lagi. Ayo !! Kembali, segera kembali !!

"Ke Bali mau liburan ?" kalimat pertama yang kulontarkan pada Lea, yang menjadi awal percakapan kami. "Oh.. bukan, mengunjungi teman... ia baru melahirkan." Lalu akupun memperkenalkan diriku sendiri dan segera memberi sapaan-sapaan hangat berikutnya.
"Jadi kamu penulis ?"
"Iya, semacam itu."
Obrolan mengalir dengan sendirinya. Ringan. Tak banyak wanita yang selepas itu ketika perjumpaan dengan lawan jenisnya untuk pertama kalinya.

Saat kumasuk coffee shop, di luar udara agak lembab tanpa sinar matahari. Sekarang jendela besar di sampingku sudah berembun, di luar hujan deras, AC dalam ruangan dingin pula. Tapi aku tak merasa kedinginan sedikit pun, tak percuma kuliah 3 tahun di New Jersey. Entah kena angin apa tiba-tiba Paman Bill, kakak dari ibuku, kontan meneleponku hendak menyekolahkan aku kesana. Masa rejeki ditolak ? Walau bahasa Inggrisnku nge-pas, kupaksakan berangkat kesana. Enam semester belajar ekonomi dan bisnis, pulang-pulang tetap saja keinginan jadi penulis tak terbantahkana. Beruntung ayah ibuku tak mengekangku harus kerja apa.

"Kewajiban utama seorang laki-laki dalam hidupnya adalah mencari nafkah untuk dirinya." Aku jadi ingat tulisan Mario Puzo dalam The Last Don.

Duakk !! Lamunanku buayar.
"Sudah ibu bilang, jangan lari-lari ! Dasar nakal !" Tak jauh dari tempatku duduk, seorang wanita dengan blazer biru tua membantu anaknya berdiri. Walau sudah jatuh, tampak ceria sekali anak kecil itu. Usianya pasti tidak lebih dari 6 tahun.

Mungkin aku tulis saja puisi tentang anak kecil. Hmm.. rasanya kurang..
Tiba-tiba ide itu muncul begitu saja, bak petir menyambar, sekelebat gambar itu muncul. Wajah tak terlupakan. Lea.

Langsung kugerakkan pena di atas kertas sepertinya ia menulis sendiri, pena itu dengan enteng menulis baris demi baris puisinya. Enam menit kemudian baru aku bisa meletakkan punggung pada sofa dengan nyaman. Nafas terasa enteng. Kuangkat buku notesku, kubaca kembali puisi itu.
Bagus. Tanpa cela. Pasti mengena.

Kuseruput habis cappucino yang sudah tidak panas lagi itu, lalu kuletakkan kembali cangkir besar putih yang berat itu ke piring kecilnya. Hujan sudah berhenti. Kujentikkan jari, tanda sukses di hari itu. Kulap bibirku dengan tisu daur ulang berwarna coklat muda. Hari yang sempurna, pikirku.

Sebersit pikiran datang menghampiri. Heii... aku tidak punya kenalan yang bernama Lea. Waktu aku ke Bali tahun lalu sebelahku adalah sepasang suami istri dari Eropa Timur yang bahkan bahasanya pun tak kumengerti. Sepanjang perjalanan aku sibuk mengisi TTS dari 3 koran yang berbeda yang aku beli di airport. Lalu siapa Lea ?
...
...
...

Tak usah dipikirkan siapa dia. Pembacaku toh juga tidak akan menanyakannya. Yang penting puisinya bagus dan mengena di hati.
Aku berdiri. Kumasukkan notes ke dalam tas kecilku. Lalu melangkah keluar dari coffee shop.

Jakarta, 11 Ags 2010. 02:35

Belenggu Pintu Cinta

(OST Belenggu Pintu Cinta)

Demi cinta suciku pada dirimu kasih
'Kan kuhapuskan lukaku yang telah kau lukai

Maafkanlah diriku
Mengorbankan cintamu
Ku salah dan ku tertipu mataku sendiri

Reff.
Belenggu pintu cinta
Kini telah terbuka
Kembalikan harapan yang t'lah kita tinggalkan
Jangan hentikan lagi langkahku dalam kalbu
Tetapkanlah bersatu selamanya
Berjanjilah ...

Takkan lagi dikejar
Jauh dulu disana
Walau kita terpisah takkan pernah berubah

Kebenaran yang nyata
Kebenaran abadi
Walaupun kita ingkari
Takkan pernah berubah ...

Reff (3x)

Penginapan Pintu Naga

(OST. Penginapan Pintu Naga)

Hidup yang penuh rintangan
Tercurah bak derasnya hujan
Mengapa kita harus jumpa
Bila tak tahu akan ke mana

Rindu pun menjadi buntu
Namun selalu
Menerpaku
Tak tentu rasa hati ini
Asmara yang melandaku kini

Reff.
Ku tak rela 'tuk selalu menanti ... (ku tak rela)
Ku tak rela 'tuk selalu merindu
Semua jadi tak menentu
Suka dan duka datang silih berganti

Ku tak rela 'tuk selalu menunggu ... (menunggu)
Ku tak rela 'tuk selalu terpaku
Ku takut hati kan beku
Namun asmara tak henti-hentinya menggoda jiwa

Reff

17 Agustus

  Empat ratus lima puluh tahun masa kolonisasi Empat setengah tahun dalam siksa dan penuh derita Penuh pergolakan demi kedaulatan negeri Akh...