Monday, March 22, 2010

Jangan Pernah "Menghakimi" Orang Sebelum Anda Mengenakan Sepatunya

Mungkin tanpa sadar Anda pernah mencibir rekan kerja Anda,"Ih, mau cari muka di depan Bos, biar keliatan sibuk," saat melihat dia lembur nyaris tiap hari di kantor. Atau mencelanya, "Makanya, kerja yang bener. Kalo emang gak becus dan gak kepake, pecat saja sekalian, Pak..!" waktu dia didamprat Bos karena dinilai pekerjaannya tidak becus.

Seorang rekan saya pernah mengatakan sebuah idiom, "Don't judge people before you step on their shoes." Idiom ini memiliki arti yang sangat luas.Seringkali kita mencibir atau menilai orang hanya dari apa yang tampak. Tapi apa pernah kiita mencoba untuk mendalami penyebabnya?

Tiga tahun yang lalu, saya bekerja di sebuah pabrik garmen di Bandung. Posisi saya waktu itu adalah Follow Up Supervisor. Dengan pengalaman 7 tahun di sana, rasanya saya pernah menghadapi dan melewati begitu banyak masalah.

Satu waktu, ada seorang rekan kerja - sebut saja Hendri - yang juga punya posisi seperti saya. Dia hanya memegang 1 Buyer dengan 5 orang asisten. Dan nyaris setiap hari pulang larut malam. Bahkan Sabtu - di mana kami hanya kerja dari pukul 8 hingga 13.30 - dia dan para timnya masih kerja hingga larut malam. Padahal tim lain yang pegang lebih dari 3 Buyer, bisa pulang on-time setiap hari.

Tentu saja timnya selalu menjadi sorotan Manajemen dan selalu menjadi TOP OF THE TOP ISSUE. Kos lembur stafnya (& listrik) terlalu tinggi. Dalam setiap kesempatan, Pimpinan selalu mengeluhkan cara kerja timnya, "Saya tidak ngerti dengan cara kerja Tim Hendri. Cuman pegang 1 Buyer, tapi lembur terus. Apa kalian tidak bisa kerja lebih efisien?"

Saya segera menemukan jawabannya ketika Pimpinan meminta saya membantu Hendri. Saat itu saya berpikir sanggup memperbaiki kinerja Hendri, agar prestasi Hendri bisa lebih baik di mata Managemen. Rupanya, pendapat saya keliru.

Segera setelah memegang order Hendri, saya menyadari kalau Buyer yang dipegang Hendri bukan Buyer "biasa". Deadline delivery Buyer memang 3 bulan, seperti yang lain. Tapi detil informasi yang diberikan sering terlambat. Biasanya 1 bulan setelah confirm order. Kadang2 di tengah jalan, ada beberapa informasi yang diubah Buyer, yang membuat kami harus mengulangi proses proofing lagi. Akibatnya waktu menjadi semakin sempit.

Saya pernah protes pada Buyer dan Pimpinan soal ini. Tapi Pimpinan selalu membela Buyer. Selidik punya selidik, saya akhirnya tahu kalo Buyer yang dipegang Hendri adalah project presticious Owner perusahaan. Jadi apapun yang terjadi, kita tidak boleh membuat Buyer "kecewa". Kalau Buyer terlambat (apalagi salah), apapun yang terjadi, kita tidak boleh terlambat dan salah.

Dan untuk "meng-cover" keterlambatan Buyer, kami harus jadi korban. Planning kami selalu berantakan. Belum lagi kalau ada rapat2 internal... wah, bisa lebih berantakan lagi schedule kami. Saya sering menolak ikutan rapat karena ngejar deadline gawean. Akibatnya, saya di-"black list" Pimpinan dan gak pernah diajak meeting lagi.

Lebih parah, Buyer mengutus Agen mereka untuk datang minimal 2X seminggu ke kantor mengecek order. Bagi saya ini beban, karena mereka senantiasa merecoki kami dengan pertanyaan dan permintaan2 yang harus kami lakukan saat itu juga. Tidak perduli kami sedang sibuk apa, kalo mereka sudah minta, itu harus ada saat itu juga. Agen ini tidak datang 1-2 jam, tapi bisa sampai tengah malam (kadang pernah 5 hari full, ketika Buyer mau datang berkunjung). Dan jika sudah demikian, kami terpaksa meninggalkan pekerjaan rutin kami demi mereka.

Mata saya terbuka dan menyadari, betapa frustrasinya Hendri. Dengan pola kerja demikian, mana mungkin dia bisa kerja efisien, terfokus, dan bisa pulang awal? Bagaimana kami bisa kerja dengan baik jika sistem kerjanya membela kepentingan Buyer, dan mengorbankan kami? Nyaris setiap hari kami harus lembur sampai lebih dari jam 21.00. Beberapa kali malah pernah pulang subuh antara jam 01.00 - 03.00. Terakhir, saat ada masalah pengiriman bulan Oktober tahun lalu, kami malah pernah kerja 24 jam NONSTOP TANPA TIDUR.

Tiga tahun bekerja dengan tim Hendri, kehidupan saya sontak jungkir-balik. Penyakit2 yang tidak pernah saya alami sebelumnya (vertigo, bell's palsy, disorientation, nerve breakdown, dll) menyerang bergantian. Prestasi saya menurun drastis. Saya merasakan kelelahan, frustrasi, dan depresi yang luar biasa. Keluarga saya pun nyaris berantakan karena saya jarang di rumah. Tidak hanya saya, tapi beberapa asisten kami pun mengalami hal yang sama. Kala itu, dua orang mengundurkan diri karena tidak tahan. Harusnya 3 orang, tapi yang satu ditahan "mati-matian", sehingga tidak jadi keluar.

Saat itu, diam-diam saya mengacungi jempol pada Hendri. Dia punya "anger management" dan kontrol diri yang luar biasa. Jika tidak, tentu dia sudah gila dengan kondisi kerja yang demikian.

Saat ini saya memang sudah tidak bekerja di perusahaan itu. Tapi pengalaman itu mengajarkan saya untuk tidak langsung menghakimi orang lain hanya karena melihat apa yang tampak. Saya mencoba belajar melihat masalah dari perspektif dirinya. Dengan demikian, saya tahu apa yang menjadi bebannya, sehingga tidak akan mencelanya di depan umum. Saya sudah melakukannya beberapa kali di perusahaan baru. Dan seringkali saya "amaze" melihat asisten saya mampu menyelesaikan masalah mereka lebih baik dari yang saya duga. Hanya saja, hasilnya tidak selalu "happy ending" seperti yang diharapkan semua orang. Tapi itulah hasil yang "the best they can do". Belum tentu kita mendapatkan hasil yang lebih baik jika kita sendiri yang melakukannya.

Mudah-mudahan berguna.

No comments:

Post a Comment

17 Agustus

  Empat ratus lima puluh tahun masa kolonisasi Empat setengah tahun dalam siksa dan penuh derita Penuh pergolakan demi kedaulatan negeri Akh...