“Jadi.... kamu sebenarnya mau kemana?” tanyaku lirih. Beberapa detik tak ada suara tanggapan. “Sudah Pak.. jalan saja.. saya ikut kemana mobil ini pergi,” jawabnya.
“Baiklah kalau begitu.”
Sabin, nama anak yang duduk di lantai bagasi mobilku,
usianya belasan tahun, belum 17 nampaknya. Tadi ia naik taksi online-ku di daerah Setiabudi, hendak
menuju ke Pluit. Di perjalanan ia
menaruh 3 keping emas kecil di samping bangku ku lalu berkata pelan, “Pak
Ganjar, bolehkan saya duduk di bagasi sehari ini, biarkan saya menumpang dan
tidur nanti ketika bapak sudah selesai kerja, saya janji akan diam. Saya berikan 3 keping emas ini sebagai
bayarannya. Anggap saja saya tidak ada,
ambil penumpang seperti biasa.” Sontak
aku mengerem dan meminggirkan mobilku sampai berhenti di tepi jalan dengan hazzard menyala. Kunyalakan lampu kabin dan menengok belakang,
“Apa ?”
Sorot matanya tajam, meski memakai masker aku melihat
matanya yang coklat tidak berkedip, “Biarkan saya duduk di bagasi selama bapak
bekerja, saya ingin keliling kota ini.” Permintaan yang sangat tidak
biasa. Memang sekarang lagi pandemi,
orang-orang tidak berkeliaran di kota karena takut terjangkit atau menularkan
virus. Banyak industri terguncang bahkan
hancur karenanya. Hampir semua
perusahaan melakukan work from home,
kerja dari rumah, tak sedikit yang mengurangi pendapatan pegawainya bahkan
PHK. Keluargaku juga terdampak, aku full
time taksi online harus merasakan
pengurangan pendapatan yang sangat signifikan, kalau orang-orang tidak
bepergian tidak kerja, lantas siapa yang kuantar ? Istriku yang tadinya ibu rumah tangga,
terpaksa membuat kue dan menjualnya online.
Jaman ini, harus ikat pinggang dan menyingsingkan lengan baju, berhemat dan
pandai-pandai mencari uang tambahan.
Tiga keping emas seukuran logam 1000, itu akan sangat
membantu di tengah pandemi, pikirku.
Tapi
bagaimana anak ini, masa duduk di bagasi selama aku kerja ?
Bagaimana nanti kalau ada orang yang bawa barang di bagasi? Bagaimana
keselamatan anak ini? Oh, apa aku berpikir kejauhan?
“Hmm... Sabin ya namamu ?” ujarku sambil menatap layar
smartphoneku.
“Iya” tak ada gentar dalam suaranya.
“Di mana kamu tinggal, Sabin?”
“Bagaimana Pak Ganjar tawaran saya?” ia tidak menjawab
pertanyaanku, persisten dengan kemauannya. “Bagaimana kalau ada yang taruh
barang di bagasi?” tanyaku, “Bapak bilang saja kepada orangnya ‘Biar saya yang
taruh di bagasi, mas/mbak silakan duduk di mobil’” Benar juga, bisa dengan cara
begitu (/ itu).
“Baiklah, kalau itu yang kau
mau” aku kembali mengarahkan pandanganku ke depan, mematikan lampu kabin dan hazzard, melanjutkan perjalanan. “Tapi Bapak harus tetap ke Pluit, kalau engga
nanti ketahuan di sistem,” ujarku menjelaskan. “Ia ngga apa-apa, nanti kalau
sudah di Pluit, baru saya pindah ke belakang.”
........