RIP RP Romualdus Maryono, SJ
Beberapa hari berlalu semenjak ku-menonaktifkan semua sosial
media milikku. WA business (WA regular
sudah lama ku-off-kan, akhir Mei 2020 kalau tidak salah ingat), Instagram, FB
& messenger-nya, Line. Why? Hati dan rasa-ku inginnya begitu.
Karena ingin mencari sebuah informasi yang ada di FB grup,
aku terpaksa membuka FB dari browser. Begitu
berhasil login, postingan teratas adalah postingan teman gereja-ku yang sudah
lama tidak kontak (10 tahun mungkin), sebut saja JA. Dalam postingan yang panjang ia menuliskan di
kalimat pertama bahwa Romo Maryono SJ sudah dipanggil Tuhan. Bagaikan kilat menggelegar persis di depan
mataku, aku kaget sekali membacanya. Lebih
kurang 1-2 bulan lalu aku sengaja mampir ke gereja tempat beliau berkarya,
sekedar bertegur sapa, ngobrol mengenang masa lalu dan update kawan-kawan jaman
beliau di Jakarta, Paroki Santa Perawan Maria Ratu/Blok Q lebih tepatnya. Aku sampai membaca 3x kalimat yang ditulis
JA, jangan-jangan aku salah baca. Tapi,
itu benar. Apa yang kubaca itu
benar, tanggal 10 November 2020 beliau dipanggil Tuhan. JA menulis banyak memori tentang
kebaikan yang sangat berkesan dari Romo Mar, begitu panggilannya.
Pas sekali waktu aku membaca postingan JA, saat itu aku
sedang di Semarang, tempat ia berkarya. Segera
setelah aku selesai membaca, aku telepon temanku yang di Malang, temanku dekat
dengan Romo Mar, untuk klarifikasi. Temanku
menceritakan bagaimana Romo Mar bisa dipanggil Tuhan, lalu tahu dari mana,
bagaimana misa-misa-nya disiarkan live streaming dan dimakamkan di
Girisonta. Setelah itu aku telepon
ibuku, ternyata dia sudah tahu duluan info itu, yaa sosmed memudahkan dan
mempercepat penyampaian informasi, bahkan beliau memberitahukan info itu
kepadaku tapi WA-ku sudah keburu off saat itu.
Aku, meskipun tidak terlalu dekat dengan beliau, tapi beliau
adalah salah seorang Jesuit (Romo-romo Serikat Yesus) yang menjadi idolaku. Soldier
of Christ yang beranio berbuat dan tampil beda. Berani berjalan di ujung/on the edge. Di mana semua
pastoran paroki adalah tempat yang tertutup, Romo Mar malah membuka pintu
pastoran bagi umatnya. Kontroversial memang. Beberapa kali, eh sering deh, aku dan
teman-teman sehabis misa, naik ke pastoran.
Tidak ada orang di sana, kami langsung ke meja makan dan mengangkat
tudung saji, ada makanan apa yang bisa disantap. Ambil gelas sendiri, seduh minuman
sendiri. Begitulah kelakuannya. Seperti rumah sendiri. Romo Mar yang sangat humble berusaha
merangkul semua umatnya. Kalau ada yang
konsultasi/curhat ke beliau, ia mendengarkan dengan sangat sabar, tidak
memotong dan menjadi good listener. Sering memasakkan umatnya makanan, membuat “minuman”
yang belakangan ia beri nama “Jesuitin.”
Ha ha ha, membekas sekali di ingatanku.
Mencoba-coba berbagai fermentasi beberapa jenis pangan, menjadi minuman
beralkohol. Sikapnya yang ke-bapa-an
membuat umat semakin dekat dan mengasihinya.
Sekarang kau telah berpulang. Aku berani bertaruh ada ratusan, ah... salah, ada ribuan pasang mata yang basah, mengalirkan air mata kesedihan dan kehilangan mendengar engkau sudah tiada. Terlebih tidak dapat menghadiri misa requiem dan pemakamanmu. Suatu saat nanti, aku akan mendoakanmu langsung di Girisonta.
Selamat jalan Jesuit, Tuhan Allahmu menanti!
Sampaikan salamku pada St. Ignatius Loyola. Ad maoirem Dei gloriam.
No comments:
Post a Comment