Showing posts with label cerpen. Show all posts
Showing posts with label cerpen. Show all posts

Sunday, September 8, 2024

Penumpang (Part 2)

Part 1

Mata Sabin menerawang menatap jendela. Pohon-pohon yang berjalan mundur berganti dengan rumah dengan berbagai macam gaya. 


Seperti apa kisah di dalam rumah itu ya.. Apa mereka selalu pulang ketika mencari ”rumah” atau justru bepergian entah kemana sepertiku kini?


Sabin menahan tawa membayangkan betapa paradoks yang mungkin dirasa oleh manusia selama hidupnya.


Kemudian Sabin mengarahkan matanya ke kaca di tengah dua kursi di depannya. Ia menangkap mata sang Pengemudi sedang memperhatikannya kemudian membuang muka kembali lurus ke depan.


“Di mana kamu tinggal, Sabin?”


Pertanyaan sang Pengemudi bergema di pikirannya. Di mana sebenarnya aku tinggal? Tinggal. Tinggal. Tinggal.. Betapa tinggal bermakna dua dalam bahasa Inggris.


Stay atau leave. Sialan aku meracau lagi..


The world was on fire and no-one could save me but you

It's strange what desire will make foolish people do

I'd never dreamed that I'd meet somebody like you

And I'd never dreamed that I'd lose somebody like you

No, I don't wanna fall in love

(This world is only gonna break your heart)

No, I don't wanna fall in love

(This world is only gonna break your heart)

With you


Suara yang memenuhi keheningan di mobil selama mereka meluncur ke Sunter diam-diam menghentikan racauannya. Sabin percaya setiap pertemuan memiliki maksudnya masing-masing. Pun dengan perjalanannya siang ini. Ia perhatikan mata sang Pengemudi.


“Sudah Pak.. jalan saja.. saya ikut kemana mobil ini pergi,”


Kuserahkan perjalananku hari ini kepadamu. Kemana saja, tolong bawa aku. Aku menghabiskan waktuku menyerahkan hidup ke orang-orang yang kuanggap bisa kupercaya. Kuanggap rumah. Kuanggap keluarga. Tapi nyatanya masih juga kulakukan perjalanan-perjalanan menjauh dari rumah yang ternyata hanya tempat singgah. Hari ini kuserahkan hidupku ke sepasang tangan dan mata di pantulan kaca itu. Ganjar.  Menurut bahasa Jawa dan Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti nama Ganjar adalah memberi hadiah atau imbalan. Karma. Ya Tuhan semoga betul ia adalah hadiah yang layak kudapat hari ini.


ditulis oleh: Annisa Ninggorkasih

Monday, December 21, 2020

Cerpen: Penumpang (Part 1)

“Jadi.... kamu sebenarnya mau kemana?” tanyaku lirih. Beberapa detik tak ada suara tanggapan.  “Sudah Pak.. jalan saja.. saya ikut kemana mobil ini pergi,” jawabnya.  

“Baiklah kalau begitu.”

Sabin, nama anak yang duduk di lantai bagasi mobilku, usianya belasan tahun, belum 17 nampaknya. Tadi ia naik taksi online-ku di daerah Setiabudi, hendak menuju ke Pluit.  Di perjalanan ia menaruh 3 keping emas kecil di samping bangku ku lalu berkata pelan, “Pak Ganjar, bolehkan saya duduk di bagasi sehari ini, biarkan saya menumpang dan tidur nanti ketika bapak sudah selesai kerja, saya janji akan diam.  Saya berikan 3 keping emas ini sebagai bayarannya.  Anggap saja saya tidak ada, ambil penumpang seperti biasa.”  Sontak aku mengerem dan meminggirkan mobilku sampai berhenti di tepi jalan dengan hazzard menyala.  Kunyalakan lampu kabin dan menengok belakang, “Apa ?”

Sorot matanya tajam, meski memakai masker aku melihat matanya yang coklat tidak berkedip, “Biarkan saya duduk di bagasi selama bapak bekerja, saya ingin keliling kota ini.” Permintaan yang sangat tidak biasa.  Memang sekarang lagi pandemi, orang-orang tidak berkeliaran di kota karena takut terjangkit atau menularkan virus.  Banyak industri terguncang bahkan hancur karenanya.  Hampir semua perusahaan melakukan work from home, kerja dari rumah, tak sedikit yang mengurangi pendapatan pegawainya bahkan PHK.  Keluargaku juga terdampak, aku full time taksi online harus merasakan pengurangan pendapatan yang sangat signifikan, kalau orang-orang tidak bepergian tidak kerja, lantas siapa yang kuantar ?  Istriku yang tadinya ibu rumah tangga, terpaksa membuat kue dan menjualnya online.  Jaman ini, harus ikat pinggang dan menyingsingkan lengan baju, berhemat dan pandai-pandai mencari uang tambahan.

Tiga keping emas seukuran logam 1000, itu akan sangat membantu di tengah pandemi, pikirku.  Tapi

bagaimana anak ini, masa duduk di bagasi selama aku kerja ? Bagaimana nanti kalau ada orang yang bawa barang di bagasi? Bagaimana keselamatan anak ini? Oh, apa aku berpikir kejauhan?

“Hmm... Sabin ya namamu ?” ujarku sambil menatap layar smartphoneku.

“Iya” tak ada gentar dalam suaranya.

“Di mana kamu tinggal, Sabin?”

“Bagaimana Pak Ganjar tawaran saya?” ia tidak menjawab pertanyaanku, persisten dengan kemauannya. “Bagaimana kalau ada yang taruh barang di bagasi?” tanyaku, “Bapak bilang saja kepada orangnya ‘Biar saya yang taruh di bagasi, mas/mbak silakan duduk di mobil’” Benar juga, bisa dengan cara begitu (/ itu).

“Baiklah, kalau itu yang kau mau” aku kembali mengarahkan pandanganku ke depan, mematikan lampu kabin dan hazzard, melanjutkan perjalanan.  “Tapi Bapak harus tetap ke Pluit, kalau engga nanti ketahuan di sistem,” ujarku menjelaskan. “Ia ngga apa-apa, nanti kalau sudah di Pluit, baru saya pindah ke belakang.”

........

Wednesday, August 18, 2010

Hujan

Air terus menetes di luar jendela kamar Emil. Langit berwarna kelabu, tak ada sinar mentari yang menempel ke tanah. Emil tetap menatap keluar jendela kamarnya. Pandangan matanya kosong. Mulutnya sedikit terbuka. Air liur mengalir dari ujung bibirnya. "Emil sayang ayo mandi dulu," seorang perawat perempuan masuk ke kamar Emil. Ia mengenakan seragam perawat rumah sakit berwarna putih.

Emil, seorang bocah lelaki berusia 11 tahun, pengidap cacat mental yang ditinggalkan begitu saja di depan Panti Asuhan Kasih Sejati. Petugas panti menemukan seonggok tubuh lemah nan mungil itu di depan pintu depan panti ketika hendak menyapu teras. Banyak memang cerita demikian di panti. Anak ditinggal begitu saja.

Perawat tadi memegang lengan kanan Emil dan menuntunnya ke kamar mandi. Tiap hari Emil dimandikan 2x, jam 8.30 dan 16.30. Ketika mandi Emil banyak tersenyum. Tampaknya ia suka sekali dengan air, sama besarnya dengan kesukaannya menatap hujan.

"Nah.. sudah mandi kan seger. Ayo sekarang suster lap dulu ya," ujar perawat sambil menyeka badan Emil dengan handuk mandi berwarna coklat terang. Emil menggerakkan kepalanya, seperti ia ingin tetap dalam keadaan basah. "Harus dikeringin.. nanti kalau gak dikeringin, kamu bisa masuk angin. Kan Emil gak mau masuk angin, ya kan ?" Seolah mengerti, kepalanya sudah tak digerakkan lagi. Sesudah dipakaikan kaos biru mudah dan celana pendek hitam, Emil membelai-belai lengan perawat, begitu cara dia mengucapkan terima kasih. "Sama-sama Emil," jawab perawat perlahan. Emil langsung berjalan menuju kamarnya dan kembali duduk di kursi dekat jendela, kembali pada kegiatannya semula, memandang keluar jendela.

Hujan sudah reda. Sontak Emil menjerit, melengking tinggi dan sangat keras. Segera 3 perawat datang ke kamarnya dengan tergopoh-gopoh. Salah satu perawat segera mendekapnya tanpa berkata apa-apa. Dua yang lain berdiri di dekanya sambil tersenyum. Setelah Emil tenang, mereka bertiga keluar.

"Anak itu tiap kali hujan berhenti, pasti menjerit," kata salah satu perawat.
"Mungkin hujan mengingatkan dia pada peristiwa yang menyedihkan," kata perawat lain.
"Ya, mungkin saja," ujar yang lain.

Tuesday, August 17, 2010

Pena dan cappucino

Terduduk di sofa hitam empuk.
Menyeruput cappucino yang masih mengepul.
Mengerutkan dahi, berpikir.
Pena digoyang-goyangkan, cari inspirasi.
Kertas putih yang akan menjadi tulisan.
Puisi atau serangkai kata-kata.
Penggugah rasa, mengena di hati.

Terdengar lagu tahun 80-an yang melekat di hati. Tembang dari grup band legendaris Queen, Somebody to Love. Sesaat terkenang perjumpaan dengan Lea, gadis manis dengan kulit coklat dan rambut panjangnya. Duduk berdekatan waktu pelesir ke Pulau Dewata. Sengaja bayar lebih untuk mendapat kursi sebelah jendela untuk menikmati gelombang awan di pagi hari, tak disangka teman seperjalanan adalah sesosok wanita yang ... menarik. Satu jam yang penuh kenangan.

Buru-buru kukembalikan pikiran pada kertas yang masih polos di hadapan. Gawat, pikirku. Kurang dari 24 jam naskah harus sudah di-email ke redaksi. Kesempatan tiap minggu mengisi kolom puisi di surat kabar lokal tidak boleh dianggap sepele. Walau honor tidak seberapa, tapi bagus untuk portfolio, sekalian menjadi selingan dalam menyelesaikan naskah novel yang sudah setengah tahun kukerjakan.

Kembali kuketuk-ketukkan pena silver pemberian teman SMA-ku waktu aku diterima jadi penulis tetap di sebuah majalah. "Pake pena yang mahalan dikit, biar tulisan lu bermutu tinggi." Aku ingat betul komentarnya saat ia berikan kotak beludru hitam kepadaku.

5 menit. 10 menit. 30 menit. Celaka kenapa jadi buntu begini. Kenapa juga aku tunda-tunda membuat tulisan, bukan dari hari Senin saja. Oh iya, hari Senin si Bryan mengajakku berkuda bersama teman-teman elite-nya. Heran, mereka berbicara bisnis milyaran rupiah seperti membicarakan teriknya matahari di warung kopi saja. Aku cuma bisa tersenyum meringis saja. Besoknya aku panas 2 hari. Mungkin karena menahan kesal terlalu dalam.

Gawat, pikiran melantur lagi. Ayo !! Kembali, segera kembali !!

"Ke Bali mau liburan ?" kalimat pertama yang kulontarkan pada Lea, yang menjadi awal percakapan kami. "Oh.. bukan, mengunjungi teman... ia baru melahirkan." Lalu akupun memperkenalkan diriku sendiri dan segera memberi sapaan-sapaan hangat berikutnya.
"Jadi kamu penulis ?"
"Iya, semacam itu."
Obrolan mengalir dengan sendirinya. Ringan. Tak banyak wanita yang selepas itu ketika perjumpaan dengan lawan jenisnya untuk pertama kalinya.

Saat kumasuk coffee shop, di luar udara agak lembab tanpa sinar matahari. Sekarang jendela besar di sampingku sudah berembun, di luar hujan deras, AC dalam ruangan dingin pula. Tapi aku tak merasa kedinginan sedikit pun, tak percuma kuliah 3 tahun di New Jersey. Entah kena angin apa tiba-tiba Paman Bill, kakak dari ibuku, kontan meneleponku hendak menyekolahkan aku kesana. Masa rejeki ditolak ? Walau bahasa Inggrisnku nge-pas, kupaksakan berangkat kesana. Enam semester belajar ekonomi dan bisnis, pulang-pulang tetap saja keinginan jadi penulis tak terbantahkana. Beruntung ayah ibuku tak mengekangku harus kerja apa.

"Kewajiban utama seorang laki-laki dalam hidupnya adalah mencari nafkah untuk dirinya." Aku jadi ingat tulisan Mario Puzo dalam The Last Don.

Duakk !! Lamunanku buayar.
"Sudah ibu bilang, jangan lari-lari ! Dasar nakal !" Tak jauh dari tempatku duduk, seorang wanita dengan blazer biru tua membantu anaknya berdiri. Walau sudah jatuh, tampak ceria sekali anak kecil itu. Usianya pasti tidak lebih dari 6 tahun.

Mungkin aku tulis saja puisi tentang anak kecil. Hmm.. rasanya kurang..
Tiba-tiba ide itu muncul begitu saja, bak petir menyambar, sekelebat gambar itu muncul. Wajah tak terlupakan. Lea.

Langsung kugerakkan pena di atas kertas sepertinya ia menulis sendiri, pena itu dengan enteng menulis baris demi baris puisinya. Enam menit kemudian baru aku bisa meletakkan punggung pada sofa dengan nyaman. Nafas terasa enteng. Kuangkat buku notesku, kubaca kembali puisi itu.
Bagus. Tanpa cela. Pasti mengena.

Kuseruput habis cappucino yang sudah tidak panas lagi itu, lalu kuletakkan kembali cangkir besar putih yang berat itu ke piring kecilnya. Hujan sudah berhenti. Kujentikkan jari, tanda sukses di hari itu. Kulap bibirku dengan tisu daur ulang berwarna coklat muda. Hari yang sempurna, pikirku.

Sebersit pikiran datang menghampiri. Heii... aku tidak punya kenalan yang bernama Lea. Waktu aku ke Bali tahun lalu sebelahku adalah sepasang suami istri dari Eropa Timur yang bahkan bahasanya pun tak kumengerti. Sepanjang perjalanan aku sibuk mengisi TTS dari 3 koran yang berbeda yang aku beli di airport. Lalu siapa Lea ?
...
...
...

Tak usah dipikirkan siapa dia. Pembacaku toh juga tidak akan menanyakannya. Yang penting puisinya bagus dan mengena di hati.
Aku berdiri. Kumasukkan notes ke dalam tas kecilku. Lalu melangkah keluar dari coffee shop.

Jakarta, 11 Ags 2010. 02:35

Terlatih Ditolak - sebuah parodi

Aku sudah mulai lupa Saat pertama kali ditolak Dari penolakanyang halus Hingga diusir dari rumahnya *Terima kasih kalian  Barisan penolakan ...