Monday, December 21, 2020

Cerpen: Penumpang (Part 1)

“Jadi.... kamu sebenarnya mau kemana?” tanyaku lirih. Beberapa detik tak ada suara tanggapan.  “Sudah Pak.. jalan saja.. saya ikut kemana mobil ini pergi,” jawabnya.  

“Baiklah kalau begitu.”

Sabin, nama anak yang duduk di lantai bagasi mobilku, usianya belasan tahun, belum 17 nampaknya. Tadi ia naik taksi online-ku di daerah Setiabudi, hendak menuju ke Pluit.  Di perjalanan ia menaruh 3 keping emas kecil di samping bangku ku lalu berkata pelan, “Pak Ganjar, bolehkan saya duduk di bagasi sehari ini, biarkan saya menumpang dan tidur nanti ketika bapak sudah selesai kerja, saya janji akan diam.  Saya berikan 3 keping emas ini sebagai bayarannya.  Anggap saja saya tidak ada, ambil penumpang seperti biasa.”  Sontak aku mengerem dan meminggirkan mobilku sampai berhenti di tepi jalan dengan hazzard menyala.  Kunyalakan lampu kabin dan menengok belakang, “Apa ?”

Sorot matanya tajam, meski memakai masker aku melihat matanya yang coklat tidak berkedip, “Biarkan saya duduk di bagasi selama bapak bekerja, saya ingin keliling kota ini.” Permintaan yang sangat tidak biasa.  Memang sekarang lagi pandemi, orang-orang tidak berkeliaran di kota karena takut terjangkit atau menularkan virus.  Banyak industri terguncang bahkan hancur karenanya.  Hampir semua perusahaan melakukan work from home, kerja dari rumah, tak sedikit yang mengurangi pendapatan pegawainya bahkan PHK.  Keluargaku juga terdampak, aku full time taksi online harus merasakan pengurangan pendapatan yang sangat signifikan, kalau orang-orang tidak bepergian tidak kerja, lantas siapa yang kuantar ?  Istriku yang tadinya ibu rumah tangga, terpaksa membuat kue dan menjualnya online.  Jaman ini, harus ikat pinggang dan menyingsingkan lengan baju, berhemat dan pandai-pandai mencari uang tambahan.

Tiga keping emas seukuran logam 1000, itu akan sangat membantu di tengah pandemi, pikirku.  Tapi

bagaimana anak ini, masa duduk di bagasi selama aku kerja ? Bagaimana nanti kalau ada orang yang bawa barang di bagasi? Bagaimana keselamatan anak ini? Oh, apa aku berpikir kejauhan?

“Hmm... Sabin ya namamu ?” ujarku sambil menatap layar smartphoneku.

“Iya” tak ada gentar dalam suaranya.

“Di mana kamu tinggal, Sabin?”

“Bagaimana Pak Ganjar tawaran saya?” ia tidak menjawab pertanyaanku, persisten dengan kemauannya. “Bagaimana kalau ada yang taruh barang di bagasi?” tanyaku, “Bapak bilang saja kepada orangnya ‘Biar saya yang taruh di bagasi, mas/mbak silakan duduk di mobil’” Benar juga, bisa dengan cara begitu (/ itu).

“Baiklah, kalau itu yang kau mau” aku kembali mengarahkan pandanganku ke depan, mematikan lampu kabin dan hazzard, melanjutkan perjalanan.  “Tapi Bapak harus tetap ke Pluit, kalau engga nanti ketahuan di sistem,” ujarku menjelaskan. “Ia ngga apa-apa, nanti kalau sudah di Pluit, baru saya pindah ke belakang.”

........

No comments:

Post a Comment

17 Agustus

  Empat ratus lima puluh tahun masa kolonisasi Empat setengah tahun dalam siksa dan penuh derita Penuh pergolakan demi kedaulatan negeri Akh...