Tuesday, August 17, 2010

Pena dan cappucino

Terduduk di sofa hitam empuk.
Menyeruput cappucino yang masih mengepul.
Mengerutkan dahi, berpikir.
Pena digoyang-goyangkan, cari inspirasi.
Kertas putih yang akan menjadi tulisan.
Puisi atau serangkai kata-kata.
Penggugah rasa, mengena di hati.

Terdengar lagu tahun 80-an yang melekat di hati. Tembang dari grup band legendaris Queen, Somebody to Love. Sesaat terkenang perjumpaan dengan Lea, gadis manis dengan kulit coklat dan rambut panjangnya. Duduk berdekatan waktu pelesir ke Pulau Dewata. Sengaja bayar lebih untuk mendapat kursi sebelah jendela untuk menikmati gelombang awan di pagi hari, tak disangka teman seperjalanan adalah sesosok wanita yang ... menarik. Satu jam yang penuh kenangan.

Buru-buru kukembalikan pikiran pada kertas yang masih polos di hadapan. Gawat, pikirku. Kurang dari 24 jam naskah harus sudah di-email ke redaksi. Kesempatan tiap minggu mengisi kolom puisi di surat kabar lokal tidak boleh dianggap sepele. Walau honor tidak seberapa, tapi bagus untuk portfolio, sekalian menjadi selingan dalam menyelesaikan naskah novel yang sudah setengah tahun kukerjakan.

Kembali kuketuk-ketukkan pena silver pemberian teman SMA-ku waktu aku diterima jadi penulis tetap di sebuah majalah. "Pake pena yang mahalan dikit, biar tulisan lu bermutu tinggi." Aku ingat betul komentarnya saat ia berikan kotak beludru hitam kepadaku.

5 menit. 10 menit. 30 menit. Celaka kenapa jadi buntu begini. Kenapa juga aku tunda-tunda membuat tulisan, bukan dari hari Senin saja. Oh iya, hari Senin si Bryan mengajakku berkuda bersama teman-teman elite-nya. Heran, mereka berbicara bisnis milyaran rupiah seperti membicarakan teriknya matahari di warung kopi saja. Aku cuma bisa tersenyum meringis saja. Besoknya aku panas 2 hari. Mungkin karena menahan kesal terlalu dalam.

Gawat, pikiran melantur lagi. Ayo !! Kembali, segera kembali !!

"Ke Bali mau liburan ?" kalimat pertama yang kulontarkan pada Lea, yang menjadi awal percakapan kami. "Oh.. bukan, mengunjungi teman... ia baru melahirkan." Lalu akupun memperkenalkan diriku sendiri dan segera memberi sapaan-sapaan hangat berikutnya.
"Jadi kamu penulis ?"
"Iya, semacam itu."
Obrolan mengalir dengan sendirinya. Ringan. Tak banyak wanita yang selepas itu ketika perjumpaan dengan lawan jenisnya untuk pertama kalinya.

Saat kumasuk coffee shop, di luar udara agak lembab tanpa sinar matahari. Sekarang jendela besar di sampingku sudah berembun, di luar hujan deras, AC dalam ruangan dingin pula. Tapi aku tak merasa kedinginan sedikit pun, tak percuma kuliah 3 tahun di New Jersey. Entah kena angin apa tiba-tiba Paman Bill, kakak dari ibuku, kontan meneleponku hendak menyekolahkan aku kesana. Masa rejeki ditolak ? Walau bahasa Inggrisnku nge-pas, kupaksakan berangkat kesana. Enam semester belajar ekonomi dan bisnis, pulang-pulang tetap saja keinginan jadi penulis tak terbantahkana. Beruntung ayah ibuku tak mengekangku harus kerja apa.

"Kewajiban utama seorang laki-laki dalam hidupnya adalah mencari nafkah untuk dirinya." Aku jadi ingat tulisan Mario Puzo dalam The Last Don.

Duakk !! Lamunanku buayar.
"Sudah ibu bilang, jangan lari-lari ! Dasar nakal !" Tak jauh dari tempatku duduk, seorang wanita dengan blazer biru tua membantu anaknya berdiri. Walau sudah jatuh, tampak ceria sekali anak kecil itu. Usianya pasti tidak lebih dari 6 tahun.

Mungkin aku tulis saja puisi tentang anak kecil. Hmm.. rasanya kurang..
Tiba-tiba ide itu muncul begitu saja, bak petir menyambar, sekelebat gambar itu muncul. Wajah tak terlupakan. Lea.

Langsung kugerakkan pena di atas kertas sepertinya ia menulis sendiri, pena itu dengan enteng menulis baris demi baris puisinya. Enam menit kemudian baru aku bisa meletakkan punggung pada sofa dengan nyaman. Nafas terasa enteng. Kuangkat buku notesku, kubaca kembali puisi itu.
Bagus. Tanpa cela. Pasti mengena.

Kuseruput habis cappucino yang sudah tidak panas lagi itu, lalu kuletakkan kembali cangkir besar putih yang berat itu ke piring kecilnya. Hujan sudah berhenti. Kujentikkan jari, tanda sukses di hari itu. Kulap bibirku dengan tisu daur ulang berwarna coklat muda. Hari yang sempurna, pikirku.

Sebersit pikiran datang menghampiri. Heii... aku tidak punya kenalan yang bernama Lea. Waktu aku ke Bali tahun lalu sebelahku adalah sepasang suami istri dari Eropa Timur yang bahkan bahasanya pun tak kumengerti. Sepanjang perjalanan aku sibuk mengisi TTS dari 3 koran yang berbeda yang aku beli di airport. Lalu siapa Lea ?
...
...
...

Tak usah dipikirkan siapa dia. Pembacaku toh juga tidak akan menanyakannya. Yang penting puisinya bagus dan mengena di hati.
Aku berdiri. Kumasukkan notes ke dalam tas kecilku. Lalu melangkah keluar dari coffee shop.

Jakarta, 11 Ags 2010. 02:35

2 comments:

17 Agustus

  Empat ratus lima puluh tahun masa kolonisasi Empat setengah tahun dalam siksa dan penuh derita Penuh pergolakan demi kedaulatan negeri Akh...